Agama Adalah Nasehat Bag. 3
Keempat: Nasihat Untuk Pemerintah
Kaum Muslimin
Kata أَئِـمَّة
(para pemimpin) jika diithlaqkan
(digeneralisir/ tidak dibatasi), maksudnya adalah pemimpin dalam urusan
pemerintahan (pemerintah), dan bukan pemimpin dalam ilmu agama (ulama), karena
demikianlah istilah yang telah berlaku. (Pembahasan Nasihat untuk pemerintah
kaum muslimin dapat melihat dalam kitab Mu’amalah al-Hukkam fi Dhaui
al-Kitab wa as-Sunnah, karya Syaikh Dr. Abdussalam bin Barjas)
Beda dengan kata waliyyul amr,
yang sesungguhnya pada asalnya berarti pemimpin tertinggi kaum muslimin; sebab waliyyul
amr pada zaman khulafaur rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu
‘anhum) dan di zaman Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, mereka memadukan
antara kepiawaian dalam mengurusi perkara duniawi dengan pemahaman yang mumpuni
terhadap agama. Adapun sesudah zaman mereka, para ulama telah menjelaskan:
bahwa waliyyul amr terdiri dari dua unsur; ulama dan umara (pemerintah)
masing-masing menangani hal-hal yang menjadi keahliannya. Pemerintah menangani
perkara-perkara duniawi kaum muslimin, sedangkan para ulama, mereka menangani
perkara agama umat manusia. Demikianlah ceritanya bagaimana istilah waliyyul
amr kemudian dipakai untuk ulama dan pemerintah, hal itu dikarenakan tampuk
pemerintahan di zaman bani Umayah dan bani Abbas dan era sesudah mereka, banyak
dipegang oleh para raja yang bukan ulama (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah,
oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal 58).
Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan
bentuk nasihat kepada pemerintah, “Membantu mereka dalam mengemban amanat yang
dibebankan kepadanya, mengingatkan mereka tatkala mereka lalai, menutupi
kekurangan mereka tatkala keliru, menyatukan kalimat di bawah kepemimpinan
mereka, mendekatkan hati yang menjauh dari mereka, dan merupakan nasihat yang
paling agung bagi pemerintah melindungi mereka dengan baik dari kezaliman.” (Fath
al-Bary, I/138)
Jadi, nasihat untuk pemerintah kaum
muslimin berarti: menunaikan hak-hak mereka yang telah diterangkan oleh Allah ta’ala
dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam (Syarh al-Arba’in
an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal 56), dan itu mencakup
berbagai hal, antara lain (Lihat: Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 140-143):
- Meyakini kepemimpinan dan kepemerintahan mereka, barang
siapa yang tidak berkeyakinan demikian berarti dia belum dianggap
menasihati pemerintah, karena orang yang tidak meyakini bahwa mereka
adalah pemerintah, tidak mungkin dia akan mentaati perintah dan menjauhi
larangan mereka. Maka kita harus meyakini kepemimpinan pemerintah, karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة
جاهلية
Artinya: “Barang
siapa yang mati dalam keadaan tidak membai’at (pemerintah) mati sebagaimana
matinya orang jahiliyah.” (HR. Muslim, III/1478 no. 1851). Barang
siapa yang berkuasa atas kaum muslimin walaupun dengan cara penaklukan, dia
tetap dianggap pemimpin, entah dia berasal dari suku Quraisy maupun tidak.
- Menyebarkan kebaikan-kebaikan mereka di kalangan para
rakyat, karena hal tersebut akan menumbuhkan rasa cinta mereka terhadap
pemerintah. Jika telah mencintai pemerintah, niscaya mereka akan mudah
untuk taat terhadap peraturan. Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa
yang diperbuat oleh sebagian orang yang mempunyai hobi untuk menyebarkan
aib-aib pemerintah dan menutup-nutupi atau pura-pura lupa akan kebaikan
mereka, ini betul-betul perbuatan zalim dan ketidakadilan.
- Menaati pemerintah baik dalam hal-hal yang
diperintahkan maupun yang dilarang, kecuali jika hal tersebut merupakan
maksiat kepada Allah, sebab kita tidak boleh menaati makhluk dalam hal
yang dilarang oleh Khaliq. Perlu diketahui bahwa menaati pemerintah adalah
merupakan suatu bentuk ibadah, dan bukan hanya sekedar untuk kepentingan
politik. Dalilnya, Allah ta’ala telah memerintahkan hal itu,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil
amr di antara kalian”. QS.
An-Nisa: 59. Allah ta’ala menjadikan hal itu dalam daftar
perintah-perintahnya, segala yang diperintahkan Allah ta’ala adalah
ibadah.
Perlu
diingat bahwa bukan merupakan syarat ditaatinya pemerintah, sucinya mereka dari
noda-noda maksiyat. Akan tetapi taatilah mereka meskipun mereka sendiri
terjerumus ke dalam maksiyat, sebab kita diperintahkan untuk taat kepada mereka
meskipun mereka sendiri berbuat maksiyat. Taatilah mereka dalam hal-hal yang
tidak bertentangan dengan agama kita, adapun jika memerintahkan hal-hal yang
terlarang dalam agama, maka tidak perlu kita taati dalam hal itu saja.
- Berusaha menutupi aib-aib mereka semampunya. Bukan
termasuk nasihat jika kita membeberkan aib-aib mereka, karena itu hanya
akan menjadikan hati rakyat dipenuhi dengan rasa benci, dengki dan jengkel
terhadap pemerintah. Jika hati telah dipenuhi dengan penyakit-penyakit
tersebut di atas, akibatnya yang akan muncul adalah sikap durhaka. Bahkan
mungkin pemberontakan terhadap pemerintah, yang mana hal itu akan
menimbulkan kerusakan dan keburukan yang Allah Maha Mengetahuinya.
- Nasihat tersebut harus disampaikan dengan lemah lembut
dan kata-kata yang sopan, karena rata-rata tipe pemerintah merasa berat untuk
menerima nasihat, kecuali jika disampaikan dengan penuh kelembutan.
Sampai orang biasa pun kebanyakan mereka susah menerima nasihat, kecuali
jika disampaikan dengan cara yang baik. Sebab jika nasihat itu
disampaikan dengan kata-kata yang kasar, niscaya akan menyebabkan
ditolaknya nasihat, padahal kita menginginkan kebaikan dari mereka. Di
dalam wasiat Allah ta’ala kepada nabi Musa dan Harun ‘alaihimassalam
tatkala akan mendatangi raja Fir’aun yang lalim, terdapat suri teladan
yang bagus sekali untuk kita semua,
فَقُولا لَهُ قَوْلاً لَيِّناً
لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Maka
berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan ia ingat atau takut.”
(QS. Thaha: 44)
- Nasihat itu harus disampaikan kepada mereka secara
sembunyi-sembunyi dan tidak di depan umum; karena pada asalnya yang
namanya nasihat -baik itu untuk pemerintah maupun yang lainnya- harus
disampaikan dengan sembunyi-sembunyi. Beda halnya dengan al-inkar
(pengingkaran) yang disebutkan dalam hadits Abi Sa’id al-Khudry (من رآى منكم منكراً فليغيره بيده) “Barang siapa yang melihat kemungkaran hendaklah ia
mengingkarinya dengan tangannya” (HR. Muslim no. 49 dan 78), yang
pada asalnya pengingkaran itu dilakukan di depan umum. Adapun nasihat,
maka pada asalnya disampaikan secara sembunyi-sembunyi. Maksud dari
menyampaikan nasihat kepada pemerintah secara sembunyi-sembunyi adalah:
penyampaian nasihat itu tidak diketahui kecuali oleh orang yang
menyampaikannya, serta dia tidak berusaha menyebarluaskan kepada orang lain
bahwa ia telah melakukan ini dan itu; sebab justru hal itu mungkin akan
merusak maksud dari nasihat tersebut, bahkan mungkin malah menyebabkan si
pemerintah enggan menerimanya, karena sudah terlanjur tersebar bahwa sang
pemerintah telah dinasihati, dan lain sebagainya. Etika seperti ini telah
diterangkan sejak empat belas abad yang lalu oleh panutan kita shallallahu
‘alaihi wa sallam,
(من أراد أن ينصح لذي سلطان فلا يبده
علانية, ولكن يأخذ بيده, فإن قبل منه فذاك, وإلا كان قد أدى الذي عليه)
“Barang
siapa yang ingin menyampaikan nasihat kepada penguasa, hendaknya jangan
menyampaikannya di depan umum, akan tetapi genggamlah tangannya dan
menyendirilah dengannya. Jika ia mau menerima nasihat tersebut, maka itulah
(yang diharapkan), jika tidak maka sesungguhnya ia telah melaksanakan
kewajibannya.” (HR. Ahmad (III/403) dan Ibnu Abi
‘Ashim (II/737 no: 1130, 1131). Al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid berkata: “Rijalnya
(para perawinya) tsiqat (terpercaya), dan sanadnya muttashil
(bersambung)”, al-Albani berkata: “shahih”). Para sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berusaha untuk menerapkan petuah beliau. Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma pernah ditanya, “Bolehkah aku mengingkari (kesalahan) pemerintah di
depan umum?. Beliau menjawab, “Jangan! Akan tetapi sampaikanlah secara
sembunyi-sembunyi” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, (XV/75),
al-Baihaqy dalam Syu’ab al-Iman, (XIII/273) dan lain-lain, dishahihkan
oleh Syaikh Dr. Abdussalam bin Barjas dalam Mu’amalah al-Hukkam fi Dhaui
al-Kitab wa as-Sunnah, hal: 131). Di dalam Shahih Bukhari diceritakan,
“Suatu saat Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma pernah didatangi oleh
sekelompok orang, lantas mereka berkata, “Nasihatilah Utsman!, tidakkah engkau
melihat kondisi kita saat ini?”. Beliaupun menjawab, “Adapun aku, demi Allah,
tidak ingin membuka pintu fitnah, sesungguhnya aku telah menasihatinya secara
sembunyi-sembunyi.” (HR. Bukhari 7098 dan Muslim IV/2290). Dalil-dalil tersebut
di atas menunjukkan bahwa nasihat kepada pemerintah harus disampaikan secara
sembunyi-sembunyi. Jika ada yang berkata, “Mustahil bisa masuk ke kantor
presiden dan menyampaikan nasihat secara sembunyi-sembunyi kepadanya?”. Kita
katakan, “Tulislah surat kepadanya, atau sampaikan nasihat tersebut lewat orang
dekatnya, kalau tidak bisa juga, Allah ta’ala telah berfirman,
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا
وُسْعَهَا
“Allah
tidak membebani seseorang kecuali dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286). Jangan malah lantas menempuh
jalan-jalan yang tidak disyari’atkan di dalam agama kita!. (Lihat: Syarh
al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal 57-58, untuk
pembahasan lebih luas silahkan lihat: Mu’amalah al-Hukkam fi Dhaui al-Kitab
wa as-Sunnah, hal: 103-132)
Jangan
dipahami dari perkataan kita: menutupi aib, bahwa kita mendiamkan aib tersebut,
akan tetapi kita berusaha untuk menasihati mereka secara langsung jika
memungkinkan, atau dengan perantara orang-orang yang dekat dengan mereka, entah
itu ulama ataupun orang yang memiliki kedudukan. Dan ini hukumnya fardhu
kifayah, jika sebagian ulama atau yang semisal mereka telah melakukannya,
maka kewajiban tersebut akan jatuh dari umat yang lain. Kemudian perlu
diketahui bersama, bahwa menasihati pemerintah ada etikanya tersendiri, antara
lain:
- Tidak melakukan kudeta atau pemberontakan terhadap
pemerintah, walaupun mereka kolusi, korupsi, nepotisme atau berbuat
maksiat lainnya. Imam an-Nawawi menjelaskan, “Adapun memberontak dan
memerangi pemerintah, maka hal itu termasuk perbuatan yang diharamkan
berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin, meskipun pemerintah
tersebut fasik dan zalim. Banyak sekali hadits-hadits yang menjelaskan hal
tersebut. Ahlus sunnah telah berijma’ bahwa kekuasaan pemerintah tidak
dicabut dari mereka (hanya) dengan kefasikan mereka.” (Syarh Shahih
Muslim, XI-XII/432, hadits no. 432).
- Jika penguasa berbuat kekufuran.
- Perbuatan kekufuran itu benar-benar nyata dan tampak
dari si penguasa, bukan hanya berdasarkan kabar burung.
- Ada dalil yang jelas bahwa perbuatan itu betul-betul
perbuatan kufur, dan bukan termasuk perkara yang diperselisihkan
kekufurannya oleh para ulama.
- Menegakkan hujjah (menerangkan dalil-dalil kekufuran
perbuatan yang penguasa kerjakan, sampai dia betul-betul mengerti bahwa
yang dia perbuat adalah kekufuran, hingga tidak tersisa sama sekali syubhat-syubhat
di kepala dia).
- Rakyat yang berkudeta harus memiliki kekuatan dan
kemampuan yang memadai untuk menggulingkan penguasa yang ada, serta
menggantinya dengan seorang muslim. (Lihat: Fath al-Bary, XIII/9).
- Kudeta tersebut tidak menimbulkan kerusakan yang lebih
besar daripada kerusakan tetap berkuasanya penguasa yang kafir tersebut.
Entah kerusakan itu berbentuk melayangnya nyawa orang-orang yang tidak
berdosa, pelecehan terhadap kehormatan wanita, ataupun
kerusakan-kerusakan lainnya. “Barangkali tidak pernah dikenal dalam
sejarah, setiap terjadi kudeta, melainkan selalu menimbulkan kerusakan
yang lebih parah daripada kerusakan yang dimaksudkan untuk dihilangkan”
(Minhaj as-Sunnah, karya Ibnu Taimiyah, III/391) (Syarh Syaikh Ibrahim
ar-Ruhaily terhadap Riyadhush Shalihin (kaset)).
Banyak
orang mengira bahwa larangan untuk kudeta itu semata-mata hanya untuk maslahat
pemerintah saja. Tentunya ini suatu anggapan yang keliru. Sebenarnya yang
pertama kali akan merasakan faedah dari larangan berontak adalah rakyat
sendiri. Betapa banyak kekacauan dan huru-hara yang ditimbulkan akibat kudeta,
belum lagi jatuhnya ribuan korban jiwa yang tidak berdosa. Tentunya masih segar
dalam ingatan kita, situasi carut marut yang pernah dialami tanah air kita,
tatkala sebagian orang ‘mengumandangkan lagu reformasi’, beberapa tahun yang
silam. Saat itu rakyat hidup dalam ketakutan yang mencekam, situasi ekonomi,
sosial dan politik tidak menentu dan masih banyak kerugian-kerugian lain yang
kita alami saat itu. Jadi sebenarnya Islam melarang kudeta atau pemberontakan
adalah demi maslahat rakyat, pemerintah dan negeri secara keseluruhan, bukan
semata-mata untuk kepentingan sebagian pihak. Barangkali bisa dikatakan bahwa
tujuan larangan ini antara lain -sebagaimana dalam istilah Jawa-, dalam rangka
mewujudkan negara yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo
(makmur, serba banyak, subur, tertata, tentram, bahagia dan sejahtera).
Senada
dengan perkataan Imam Nawawi, penjelasan al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani,
tatkala menukil perkataan Ibnu Baththal, “Di dalam hadits ini (Maksudnya hadits
no. 7054 yang berbunyi, “Barang siapa yang melihat dari pemerintahnya
sesuatu yang ia benci, hendaklah bersabar. Karena barang siapa yang memisahkan
dari jama’ah kaum muslimin satu jengkal saja kemudian ia mati, niscaya ia mati
sebagaimana matinya orang jahiliyah”) terdapat dalil tentang dilarangnya
memberontak kepada penguasa meskipun mereka bertindak lalim. Para fuqaha’
(ahli fiqih)
telah berijma’ tentang wajibnya menaati as-sulthan al-mutaghallib
(penguasa yang berhasil merebut kekuasaan pemerintah sebelumnya) juga wajibnya jihad
bersama mereka. Taat kepada mereka lebih baik daripada melakukan kudeta; karena
dengan itu jatuhnya korban jiwa dapat terhindari, serta rakyat akan hidup aman
dan tenteram. Para fuqaha dalam hal ini berdalilkan dengan hadits ini
dan hadits-hadits lain yang semisal, mereka sama sekali tidak memberikan
dispensasi dalam masalah ini kecuali jika penguasa melakukan kekufuran yang
nyata” (Fath al-Bary, XIII/9). Di antara hadits-hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang menegaskan prinsip ini,
(من ولي عليه والٍ فرآه يأتي شيئاً
من معصية الله, فليكره ما يأتي من معصية الله, فلا ينـزعن يداً من طاعة)
“Barang
siapa yang dipimpin oleh seorang penguasa, kemudian ia melihatnya berbuat
maksiat, hendaknya membenci perbuatan maksiat tersebut, tapi janganlah hal itu
menyebabkan dia tidak menaatinya)
(HR. Muslim no. 1855).
Juga tatkala
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya bagaimana menyikapi
pemerintah yang tidak menunaikan hak-hak rakyatnya, Beliau menjawab,
(أدوا الحق الذي عليكم, وسلوا الله الذي
لكم)
“Tunaikanlah
kewajiban kalian, dan mintalah hak kalian kepada Allah.” (HR. Bukhari no. 7054 dan Muslim no. 1843)
Adakah
penjelasan yang lebih jelas dari dua mutiara nabawi tersebut di atas?.
Kemudian,
di akhir keterangan Ibnu Baththal tersebut di atas, telah disinggung kapan
bolehnya kudeta terhadap pemerintah, yakni di saat mereka melakukan perbuatan
kufur yang nyata. Hal itu berlandaskan hadits shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu,
(بايعنا رسول الله على السمع والطاعة
في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله إلا أن تروا
كفراً بَواحاً عندكم من الله فيه برهان)
“Kami
telah berbai’at kepada Rasulullah untuk selalu mendengar dan mentaati
(pemerintah), baik itu di saat kami semangat maupun di saat kami tidak suka,
baik di saat kita dalam keadaan susah maupun senang, ataupun di saat mereka
bernepotisme. Juga tidak memberontak kepada pemerintah, kecuali jika kalian
melihat kekufuran yang nyata di dalam diri mereka, berlandaskan dalil yang
meyakinkan (bahwa perbuatan itu adalah perbuatan kufur)”.
(Bai’at
adalah: perjanjian antara umat dengan nabi atau penguasa untuk selalu mendengar
dan ta’at. Syarh Syaikh Ibrahim ar-Ruhaily terhadap Riyadhush Shalihin
(kaset))
Di dalam
hadits ini dan hadits-hadits lain terdapat patokan-patokan yang jelas kapan
seorang rakyat boleh berkudeta:
- Mendoakan kebaikan untuk mereka. Imam Ahmad bin Hanbal
berkata, “Seandainya aku hanya memiliki satu doa saja yang dikabulkan oleh
Allah ta’ala, niscaya akan kutujukan kepada pemerintah.” (Hilyah
al-Auliya’, karya Abu Nu’aim, VIII/91).
Kami rasa perlu juga disebutkan di
makalah ini, bentuk nasihat terhadap ulama, karena sebagian kitab-kitab yang
menjelaskan kitab al-Arbain an-Nawawiyah ini juga menerangkan di
dalamnya bentuk nasihat terhadap ulama. Sebelum lebih lanjut memasuki
pembahasan ini, perlu diterangkan siapa sebenarnya ulama yang dimaksud dalam
pembahasan kita ini?. Mereka adalah para ulama yang Rabbani, yaitu yang
mewarisi ilmu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ibadahnya, akhlaknya
serta metode dakwahnya. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 138)
Adapun nasihat untuk ulama
tersebut di atas, adalah berupa:
- Mencintai mereka, karena jika kita tidak mencintai
seseorang, tidak mungkin kita akan meneladaninya.
- Membantu mereka dalam menerangkan al-haq, dengan cara
menyebarluaskan buku-buku mereka dengan berbagai macam media yang
memungkinkan.
- Berusaha untuk membela kehormatan mereka. Jika ada
seseorang yang menisbatkan suatu perkara yang buruk kepada mereka, maka
sikap kita adalah:
- Tatsabbut
(klarifikasi/memastikan) kebenaran penisbatan perkara tersebut kepadanya.
Betapa banyak hal-hal yang dinisbatkan kepada seorang alim, padahalnya
sebenarnya hal itu adalah dusta. Jika hal itu benar, maka kita akan
memasuki langkah selanjutnya, yaitu:
- Meneliti dengan cermat apakah hal itu merupakan
sesuatu yang perlu dikritik?. Karena betapa banyak perkara yang pada
awalnya kita kira salah, setelah lebih kita dalami ternyata hal itu
adalah haq.
- Jika ternyata hal itu bukan termasuk perkara yang
perlu dikritik, maka kewajiban kita selanjutnya adalah: membela mereka
dan menyebarluaskan kenyataan yang benar di antara umat, serta kita
terangkan kepada mereka bahwa ‘alim ini berada di atas kebenaran,
meskipun menyelisihi apa yang diperbuat oleh kebanyakan orang.
- Jika setelah kita perdalam ternyata hal itu termasuk
yang perlu dikritik, dan benar penisbatannya kepada ‘alim itu, maka
kewajiban kita adalah: berusaha menghubunginya dengan penuh adab dan
penghormatan, sambil berkata, “Kami mendengar ini dan itu tentang antum,
maka kami ingin mengetahui duduk sisi perkara tersebut, karena antum
lebih ‘alim dari kami”. Jika dia menerangkan permasalahan tersebut, maka
kita berhak untuk berdiskusi dengannya, tentunya dengan adab dan penuh
penghormatan, sesuai dengan kedudukannya, dan sesuai dengan hal yang
pantas untuknya. Hal ini amat bertolak belakang dengan yang diperbuat
oleh sebagian orang, tatkala mereka mendatangi seorang ‘alim yang
menyelisihi pendapatnya, mereka datang dengan kasar dan keras, malah
barangkali memukul wajah sang ‘alim sembari berkata, “Mengapa kamu buat
perkataan yang baru ini?!” “Mengapa kamu mengatakan pendapat yang mungkar
ini?” “Apakah kamu tidak takut kepada Allah?!”. Kemudian setelah
mencermati duduk perkaranya, ternyata justru perkataan sang ‘alim
tersebut yang sesuai dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dan merekalah yang menyelisihinya. Kebanyakan kasus ini
terjadi disebabkan kekaguman mereka terhadap diri mereka sendiri, dan
perasaan bahwa merekalah yang ahlus sunnah, merekalah yang berada di atas
manhaj
salaf. Padahal kenyataannya mereka adalah orang yang paling jauh dari
jalan salaf dan sunnah. Orang jika mengagumi dirinya
sendiri -semoga Allah melindungi kita dari penyakit ini- dia akan
memandang orang lain bagaikan seekor semut kecil. Hati-hatilah dari
perkara ini!.
- Jika kita melihat suatu kesalahan dalam diri seorang
ulama, janganlah kita mendiamkannya dengan alasan bahwa beliau lebih tahu
permasalahan dari kita. Akan tetapi diskusikanlah perkara tersebut dengan
penuh adab dan penghormatan. Karena terkadang seorang manusia tidak
mengetahui suatu hukum, jika diperingatkan oleh orang lain yang notabene
berada di bawahnya dalam tingkatan ilmu, dia akan tersadar. Perhatikanlah,
ini merupakan salah satu bentuk nasihat terhadap ulama.
- Memberikan informasi kepada para ulama tentang
permasalahan seputar mendakwahi umat, yang bisa membawa kebaikan. Jika
kita melihat seorang ulama amat bersemangat dalam berdakwah, selalu
menasihati umat di segala waktu dan tempat, sehingga masyarakat merasa
jenuh dan berkata, “Ulama itu telah memberatkan kita”, maka merupakan
salah satu bentuk realisasi nasihat terhadap ulama, kita beritahukan
kepadanya, “Hendaklah berbicara sesuai dengan situasi dan kondisi”. Dan
ini sama sekali tidak termasuk usaha untuk menghalangi penyebarluasan
ilmu, bahkan ini salah satu usaha untuk melestarikan ilmu, karena jika masyarakat
merasa jenuh, akibatnya mereka akan bosan terhadap ulama dan
ceramah-ceramahnya. Oleh karena itu kita dapatkan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak terlalu memperbanyak nasihat-nasihatnya kepada
para sahabat, karena ditakutkan akan membuat mereka merasa bosan (HR.
Bukhari, no. 68). Padahal untaian kata-kata beliau dicintai oleh mereka.
Seyogyanya dalam bersikap dengan masyarakat, kita bagaikan seorang
penggembala; memilih hal-hal yang bermanfaat dan berguna bagi mereka.
Kelima: Nasihat Untuk Kaum Muslimin.
Imam an-Nawawy menguraikan
penjelasan tentang nasihat untuk kaum muslimin dengan perkataannya, “Memberikan
petunjuk kepada mereka terhadap hal-hal yang membawa kebaikan dalam perkara
duniawi dan ukhrawi. Tidak menyakiti mereka. Mengajari hal-hal agama yang belum
mereka ketahui. Membantu mereka dengan perkataan dan perbuatan. Menutupi aurat
dan kekurangan mereka. Melindungi mereka dari marabahaya, serta berusaha
mendatangkan manfaat. Menyuruh mereka terhadap kebaikan dan mencegah dari
kemungkaran dengan lemah lembut dan penuh keikhlasan. Menaruh belas kasihan
kepada mereka. Menghormati yang tua dan menyayangi yang muda. Menyampaikan
nasihat yang baik kepada mereka, juga tidak iri atau menipu mereka. Senang
mendatangkan kebaikan untuk mereka, sebagaimana kita senang mendatangkannya
untuk diri sendiri, juga membenci tertimpanya mereka dengan keburukan,
sebagaimana kita benci jika kita tertimpa keburukan. Melindungi harta,
kehormatan serta keadaan mereka yang lain dengan ucapan dan perkataan kita.
Menghasung mereka untuk berakhlak dengan hal-hal yang telah kita sebutkan.
Menggugah semangat mereka untuk melakukan ketaatan kepada Allah. Sampai-sampai
sebagian salaf
rela mengorbankan kepentingan duniawinya, demi tersampaikannya nasihat kepada
kaum muslimin.” (Syarh Shahih Muslim, I/239)
Dan nasihat itu tidak terbatas hanya
untuk umat Islam saja, akan tetapi juga harus disampaikan kepada golongan non
muslim. Panutan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, selalu
menasihati kaumnya yang notabene orang-orang musyrik. Beliau mengerahkan segala
kemampuan yang dimiliki untuk menyelamatkan mereka dari kegelapan syirik
dan paganisme (pemujaan terhadap berhala), hingga beliau menghadapi cobaan dan
siksaan yang bertubi-tubi tatkala meniti jalan tersebut. (Qawa’id wa Fawa’id,
hal: 94)
Beberapa Pelajaran Yang Dapat
Dipetik Dari Hadits Ini (Lihat: Syarh al-Arba’in, oleh Syaikh
al-Utsaimin, hal: 143-145):
- Pentingnya menyampaikan nasihat dalam lima perkara
tersebut di atas, sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjadikannya sebagai agama.
- Metode pengajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang amat bagus, tatkala memulainya dengan sesuatu yang global, kemudian
setelah itu menyampaikannya secara terperinci.
- Semangat para sahabat dalam menuntut ilmu,
mereka selalu menanyakan setiap hal yang dibutuhkan umat.
- Memulai segala sesuatu dari hal yang paling penting
kemudian yang penting. Ini ditunjukkan tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam memulai dengan menerangkan nasihat untuk Allah, kemudian
untuk al-Qur’an, untuk Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
untuk pemerintah, ditutup dengan nasihat untuk kaum muslimin. Al-Qur’an
didahulukan atas Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena
al-Qur’an akan kekal, adapun Rasul maka ia meninggal. Dan itu tidak
menutupi adanya kaitan yang amat erat antara nasihat untuk Rasul dengan
nasihat untuk al-Qur’an. Sebab barang siapa yang menunaikan nasihat untuk
al-Qur’an berarti ia telah menunaikannya untuk Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, demikian sebaliknya.
- Hadits ini mengisyaratkan keharusan dipimpinnya suatu
komunitas muslim oleh seorang pemimpin.
Daftar Pustaka:
- Al-Qur’an dan Terjemahannya.
- Ad-Durar as-Saniyah bi Fawaid al-Arba’in an-Nawawiyah, Dr. Bandar bin Nafi’ al-’Abdaly.
- Al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan.
- Al-Jami’ fi Ahkam al-Qur’an, al-Qurthuby.
- Al-Mushannaf,
Ibn Abi Syaibah.
- As-Sunnah,
Ibn Abi ‘Ashim.
- Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, al-Qadhi al-’Iyadh.
- Fadhail al-Qur’an,
Ibnu Katsir.
- Fath al-Bary fi Syarh Shahih al-Bukhary, Ibnu Hajar al-’Asqalany.
- Hilyah al-Auliya’,
Abu Nu’aim al-Asfahany.
- Huquq an-Nabi ‘ala Ummatihi fi Dhau’i al-Kitab wa
as-Sunnah, Prof. Dr. Muhammad bin
Khalifah at-Tamimy.
- Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah.
- Miftah Dar as-Sa’adah,
Ibnu Qayim al-Jauziyah.
- Minhaj as-Sunnah,
Ibn Taimiyah.
- Mu’amalah al-Hukkam fi Dhau’i al-Kitab wa as-Sunnah, Dr. Abdussalam bin Barjas al-Abdul Karim.
- Mu’taqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid
al-Asma’ wa ash-Shifat,
Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimy.
- Musnad Ahmad,
Ahmad bin Hambal.
- Qawa’id wa Fawaid min al-Arbain an-Nawawiyah, Nadzim Muhammad Sulthan.
- Shahih al-Bukhary,
Muhammad bin Ismail al-Bukhary.
- Shahih Ibnu Khuzaimah,
Ibnu Khuzaimah.
- Shahih Muslim,
Muslim bin Hajjaj.
- Shiyanah Shahih Muslim, Ibnush Shalah.
- Siyar A’lam an-Nubala,
Syamsuddin adz-Dzahaby.
- Sunan Abi Dawud,
Sulaiman bin Asy’ats as-Sijistany.
- Sunan at-Tirmidzy,
Abu Isa at-Tirmidzy.
- Sunan Ibn Majah,
Ibn Majah al-Qazwiny.
- Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
- Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, Shalih Alu Syaikh.
- Syarh Riyadh ash-Shalihin, Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaily (kaset).
- Syarh Shahih Muslim,
Yahya bin Syaraf an-Nawawy.
- Syu’ab al-Iman,
al-Baihaqy.
- Ta’dzim Qadr ash-Shalah, Muhammad bin Nashr al-Marwazy.
- Taisir al-Aziz al-Hamid, Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahab.
Purbalingga,
Jum’at 17 Jumadal Ula 1426 H
***
Penulis: Ustadz
Abdullah Zaen, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Dari artikel Agama Adalah Nasihat (3) — Muslim.Or.Id – Memurnikan Aqidah
Menebarkan Sunnah