AGAMA ITU NASEHAT
Bag. 1
عن أبي رقية تميم بن أوس الداري رضي
الله عنه, أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ» قلنا: لمن؟
قال: «لله,
ولكتابه, ولرسوله, لأئمة
المسلمين وعامتهم». رواه مسلم
Dari
Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad-Daary radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama itu nasihat”. Kami pun
bertanya, “Hak siapa (nasihat itu)?”. Beliau menjawab, “Nasihat itu
adalah hak Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemerintah kaum muslimin dan rakyatnya
(kaum muslimin)”. (HR. Muslim)
Derajat Hadits:
Shahih, diriwayatkan oleh Imam
Muslim dalam kitab Shahihnya, hadits no. 55 dan no. 95.
Biografi Singkat Perawi Hadits:
Perawi hadits ini, Abu Ruqayyah
Tamim bin Aus ad-Daary radhiyallahu ‘anhu adalah salah seorang sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berasal dari negeri Palestina,
tepatnya di kota Bait al-Lakhm (Betlehem). Meninggal pada tahun 40 H. Beliau
termasuk sahabat yang sedikit riwayat haditsnya, di dalam kutub as sittah
(Kutub as-Sittah adalah enam buku inti yang menghimpun hadits-hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, buku-buku itu adalah: Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim,
Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasai dan Sunan Ibn Majah) beliau
hanya memiliki sembilan hadits saja, di dalam shahih muslim hanya ada satu
hadits saja yang beliau riwayatkan, yaitu hadits yang akan kita bahas kali ini,
yang mana dia merupakan hadits yang paling masyhur di antara hadits-hadits yang
beliau riwayatkan. (Lihat: Siyar A’lam an-Nubala, (II/442-448))
Kedudukan Hadits Ini:
Hadits ini merupakan salah satu
hadits yang sangat agung kedudukannya, karena dia mencakup seluruh ajaran agama
Islam, entah itu yang berkaitan dengan hak-hak Allah, hak-hak rasul-Nya maupun
hak-hak umat manusia pada umumnya. (Lihat: Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah,
oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal 54).
Penjelasan Hadits:
«الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ»
“Agama itu nasihat.”
Kata ad-dien dalam bahasa
Arab mempunyai dua makna:
- Pembalasan, contohnya firman Allah ta’ala, مَالِكِ يَوْمِ الدِّيـن Artinya: “Yang menguasai hari pembalasan“. (QS. Al-Fatihah [1]: 4)
- Agama, contohnya firman Allah ta’ala, وَرَضِيتُ لَكُمُ الْأِسْلامَ دِيناً Artinya: “Dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (QS. Al-Maidah [5]: 3)
Adapun dalam hadits kita ini, yang
dimaksud dengan kata ad-dien adalah: agama (Syarh al-Arba’in
an-Nawawiyah, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal: 135-136).
Kata an-nashihah berasal dari
kata an nush-hu yang secara etimologi mengandung dua makna:
- Bersih dari kotoran-kotoran dan bebas dari para sekutu.
- Merapatnya dua sesuatu sehingga tidak saling berjauhan.
Adapun definisi an-nashihah
secara terminologi dalam hadits ini adalah: Mengharapkan kebaikan orang yang
dinasihati, definisi ini berkaitan dengan nasihat yang ditujukan kepada
pemimpin umat Islam dan rakyatnya. Adapun jika nasihat itu diarahkan kepada
Allah, kitab-Nya dan Rasul-Nya, maka yang dimaksud adalah merapatnya hubungan
seorang hamba dengan tiga hal tersebut di atas, di mana dia menunaikan hak-hak
mereka dengan baik.
Dalam memahami sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “agama itu nasihat”, para ulama berbeda pendapat;
ada yang mengatakan bahwa semua ajaran agama Islam tanpa terkecuali adalah
nasihat. Sebagian ulama yang lain menjelaskan maksud dari hadits ini adalah
bahwa sebagian besar ajaran agama Islam terdiri dari nasihat, menurut mereka
hal ini senada dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
«
الدعاء هو العبادة »
“Doa adalah ibadah.” (HR. Abu Dawud (II/109 no. 1479), at-Tirmidzi (V/456 no.
3372) dan Ibnu Majah (V/354 no. 3828), At-Tirmidzi berkata: hadits ini hasan
shahih, Ibnu Hajar dalam Fath al Bari, (I/49) berkata, sanadnya jayyid
(bagus), Al-Albani berkata: shahih.)
Juga semisal dengan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
«
الحج عرفة
»
“Haji adalah Arafah.” (HR. At-Tirmidzi (III/228 no. 889), an-Nasai (V/256), Ibnu
Majah (IV/477 no. 3015), Ahmad (IV/309) dan Ibn Khuzaimah (IV/257). Al-Albani
berkata: shahih.)
Bukan berarti bahwa ibadah dalam
agama Islam itu hanya berbentuk doa saja, juga bukan berarti bahwa ritual ibadah
haji
hanya wukuf di Arafah saja, yang dimaksud dari kedua hadits adalah: menerangkan
betapa pentingnya kedudukan dua macam ibadah tersebut.
Akan tetapi jika kita amati dengan
seksama hal-hal yang memiliki hak untuk mendapatkan nasihat -yang disebutkan
dalam hadits
ini- akan kita dapati bahwa betul-betul ajaran agama Islam semuanya adalah
nasihat, tanpa terkecuali. Entah itu yang berkenaan dengan akidah, ibadah,
maupun muamalah. (Lihat: Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh
Shalih Alu Syaikh, hal 54-55)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sengaja tidak langsung menjelaskan dari awal siapa saja yang berhak
mendapatkan nasihat ini, agar para sahabat sendiri yang bertanya untuk siapakah
nasihat itu. Tujuan metode ini -yakni metode melemparkan suatu masalah secara
global kemudian setelah itu diperincikan-, adalah agar ilmu tersebut membekas
lebih dalam. Hal itu dikarenakan tatkala seseorang mengungkapkan suatu hal
secara global, para pendengar akan mengharap-harap perincian hal tersebut,
kemudian datanglah perincian itu di saat kondisi jiwa berharap serta
menanti-nantikannya, sehingga membekaslah ilmu itu lebih dalam di dalam jiwa.
Hal ini berbeda jika perincian suatu ilmu sudah disampaikan kepada pendengar sejak
awal pembicaraan. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Muhammad
bin Shalih al-Utsaimin hal: 136)
قلنا: لِمَـنْ؟
Kami (para sahabat) bertanya, “Hak
siapa nasihat itu wahai Rasulullah?”
Huruf lam dalam perkataan
para sahabat لِمنْ fungsinya adalah untuk istihqaq
(menerangkan milik atau hak), yang berarti: nasihat ini haknya siapa wahai
Rasulullah? (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu
Syaikh, hal 55).
قال: لله, ولكتابه, ولرسوله,
لأئمة المسلمين وعامتهم.
Beliau menjawab, “Nasihat itu
adalah hak Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemerintah kaum muslimin dan rakyatnya
(kaum muslimin)”.
Dalam jawaban beliau ini diterangkan bahwa yang berhak untuk
mendapatkan nasihat ada lima:
Pertama: Nasihat untuk Allah
ta’ala
Nasihat untuk Allah ta’ala
artinya: menunaikan hak-hak Allah baik itu hak yang wajib maupun yang sunnah
(Ibid, lihat pula: Ta’dzim Qadr ash-Shalah, karya Muhammad bin Nashr
al-Marwazy, II/691-692).
Hak-hak Allah yang wajib mencakup
antara lain:
- Beriman terhadap rububiyah Allah ta’ala, yang berarti: meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya Rabb segala sesuatu, satu-satunya pencipta, Yang memberi rezeki, Yang menghidupkan dan mematikan, Yang mendatangkan manfaat dan melindungi dari marabahaya, Yang mengabulkan doa, Yang Maha memiliki dan menguasai segala sesuatu, tidak ada sekutu bagi-Nya (Taisir al- ‘Aziz al-Hamid, oleh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahab, hal 26). Allah ta’ala berfirman,
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ
“Segala
puji bagi Allah Rabb semesta alam.”
(QS. Al-Fatihah: 1)
- Beriman terhadap uluhiyah Allah ta’ala, yang berarti: mengesakan Allah ta’ala dalam segala macam bentuk ibadah (Al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, karya Dr. Shalih al-Fauzan, hal 30). Jadi kita harus mengikhlaskan semua ibadah kita, mulai dari shalat, doa, kurban, sampai al-khauf (rasa takut), al-mahabbah (cinta), dan ibadah-ibadah yang lainnya. Allah ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْأِنْسَ
إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan
tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah
kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
- Beriman terhadap asmaa’ (nama-nama) dan shifaat (sifat-sifat) Allah ta’ala. Maksudnya adalah: Mengesakan Allah ta’ala dalam nama-nama-Nya yang mulia serta sifat-sifat-Nya yang agung, yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan al-Hadits, sembari mengimani makna dan hukum-hukumnya, tanpa mengotorinya dengan tahrif (mengubah), ta’thil (menafikan), takyif (berusaha mencari-cari caranya), atau tamtsil (meyakini bahwa sifat-sifat Allah seperti sifat-sifat para makhluk). Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ
السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak
ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuraa: 11). (Lihat: Mu’taqad
Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Tauhidil Asma’ wash Shifat, karya Prof. Dr.
Muhammad bin Khalifah at-Tamimi, hal 31)
- Melaksanakan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-larangan yang diharamkan-Nya. Ini adalah salah satu tanda rasa cinta seorang hamba kepada Rabbnya. (Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-Nawawiyah, karya Dr. Bandar al-’Abdaly, hal 37). Allah berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ
اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَحِيمٌ * قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ
اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“Katakanlah,
“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Katakanlah, “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali Imran: 31-32)
Hal-hal
yang wajib contohnya: mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan ramadhan,
berdakwah kepada agama Allah dan lain-lain. Contoh larangan-larangan: syirik,
berzina, bermain judi, dan lain sebagainya.
- Tidak rela melihat larangan-Nya dilanggar, serta merasa bahagia jika melihat para hamba-Nya taat dalam menjalankan perintah-Nya (Ta’zhim Qadr ash-Sholah, II/692).
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Ustadz
Abdullah Zaen, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
Dari artikel Agama Adalah Nasihat (1) — Muslim.Or.Id – Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah
0 komentar:
Posting Komentar